KPH Raditya Lintang Sasangka
(kiri/berdiri), ketika memberi sesorah (pidato) kepada para peserta pendadaran.
SOLO (JURNALKREASINDO.COM) - Seusai menjalani sejumlah materi pendadaran yang dilakukan berupa ketrampilan dan pengetahuan mengenai sejarah (Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat), budaya, tata susila, tata bahasa serta pengetahuan tentang berkomunikasi (etika/pambiwara), 19 siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara kraton Trah Dinasti Mataram itu mengikuti materi terakhir, nembang macapat.
Pendadaran Ketrampilan nembang macapat yang diujikan, pada
Kamis (16/09/2021) itu antara lain, jenis tembang Dhandhang Gula, Pucung dan
Mijil. Pendadaran Sanggar Pasinaon Pambiwara kraton Kasunanan Surakarta angkatan 37 ini
bertempat di Ndalem Kayonan, yang berada di dalam beteng kraton.
”Dalam sehari ini, harus selesai. Semua yang telah lulus
dari Sanggar Pasinaon Pambiwara, harus bisa nembang macapat” ujar KPH Raditya
Lintang Sasangka, ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat sembari menambahkan, namun juga harus mengerti makna jenis-jenis
tembang tersebut.
Karya Pujangga
Sebab kebanyakkan
tembang tersebut karya para pujangga, pasti ada kandungan edukasi tentang
nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan nyata. Selain itu juga relevan sepanjang
masa. “Diharapkan upaya pelestarian budaya atau peradaban Jawa, yang bersumber
dari kraton Trah Dinasti Mataram ini tetap terjaga” jelasnya
Karena, para lulusan yang terdiri dari berbagai profesi ini,
akan menjalankan segala bekal pengetahuan yang didapat dari sanggar dalam
kehidupan sehar-hari di tengah masyarakat, melalui profesi masing-masing. Dimana
peserta pendadaran ini terdiri dari berbagai profesi, diantaranya perias
pengantin, guru, dosen, TNI, Polri, dalang dan profesi juru pranatacara.
Dengan demikian penggunaan bahasa Jawa akan tetap terjaga
intensitasnya di tengah pergaulan masyarakat. Sehingga dalam interaksi sosial
melalui profesi masing-masing, diharapkan pesan-pesan moral yang ada di dalam
karya seni tembang macapat, bisa teredukasi dan membentuk kesadaran, kepedulian
serta tanggungjawab sosial dan moral.
Wulang Reh
Maka pelestarian peradaban ini tetap terjaga dengan baik. Seni
tembang macapat Dhandhang Gula dari ‘Serat Wulang Reh’, karya Sinuhun Paku
Buwono (PB) V (1820-1823) yang ditembangkan Raditya itu, kemudian dijelaskan
maknanya dalam konteks kehidupan sekarang. Bunyi tembang itu, diantaranya
seperti ini.
‘Nanging yen sira nggeguru kaki, hamiliha manungsa kang nyata, ingkang
becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ngibadah lan kang wirangi,
sokur (syukur) oleh wong tapa, ingkang wus hamungkul, tan mikir pawewehing lyan,
iku pantes sira guranana kaki, sartane kawruhana’.
Atinya, Bila kamu ingin berguru, pilihlah manusia yang
berpegang pada kebenaran, yang baik budi pekertinya, yang memahami hukum, yang
beribadah dan suka mendekatkan diri kepada Tuhan YME, syukur kalau dapat guru
seorang yang suka laku-prihatin, yang sudah tidak memikirkan keduniawian, juga
tak lagi memikirkan balas jasa dari orang lain, itulah yang pantas kalian
jadikan guru, dan jadikan sumber pengetahuan.
“Pantun tembang ini tetap berbahasa Jawa, tetapi kini sudah berksara latin, yang disadur dari aslinya dalam Serat Wulang Reh yang menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa. untuk menjelaskan sesuai konteks sekarang, terjemahan syair dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia” pungkasnya. (Her)