Prof Dr KPA Henry Indraguna, SH.MH.
CRA, janji DIS dari pemerintah tak kunjung direalisasikan.
JAKARTA, JURNALKREASINDO.com – Buntut dari unggahan yang ditulis oleh Putra Mahkota Keraton Kasunanan Surakarta, KGPAA Hamengkunegoro tentang penyataan Nyesel Gabung Republik menuai perhatian dan menjadi bahan diskusi banyak pihak. Demikian juga dengan Penasihat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, Prof Dr KPA Henry Indraguna, SH.MH. CRA menyampaikan, ungkapan itu sebagai bentuk kekecewaan yang mencerminkan adanya kerugian nyata rakyat.
Jadi, unggahan Putra Mahkota itu lahir dari keresahan atas
berbagai masalah yang merugikan rakyat. "Kami mendengar suara Putra
Mahkota dan memahami alasannya. Kasus korupsi di Pertamina dengan menipu
kualitas Pertamax, jelas sangat mengecewakan rakyat, Kondisi ini diperburuk
dengan PHK massal 10 ribu pekerja Sritex di Sukoharjo sejak 2024 setelah impor
tekstil dibebaskan. Hal itu memicu pengangguran dan kemiskinan baru. Belum lagi
korupsitimah Rp 271 Triliun yang merampas hak rakyat atas sumber daya alam”
ungkap Prof Henry
Ungkapan itu diutarakan Henry pada Minggu (9/3/2025) di
Jakarta. Selanjutnya Ia menyatakan, apalagi yang paling nyata dirasakan Keraton
Kasunanan, mengenai janji pemerintah untuk mewujudkan Daerah Istimewa Surakarta
(DIS) sejak tahun 1946 tak kunjung direalisasikan. Bahkan upaya mewujudkan saja
tidak terlihat. “Republik meninggalkan Keraton dan warga Solo tanpa hak
istimewa yang diharapkan," tegas Henry yang gelar Profesor-nya diraih dari
Unissula, Semarang ini
Apalagi mengutip unggahan Putra Mahkota yang menyatakan, ‘Percuma
Republik kalau hanya untuk membohongi,’ ini sebuah kalimat yang mencerminkan
kekecewaan mendalam terhadap janji-janji yang tak ditepati, sehingg sebagai satire
yang relevan. Prof Henry tak memungkiri bisa memahami kegelisahan Putra Mahkota
dan meminta pemerintah merespon secara bijak. Kritik Putra Mahkota itu merupakan
panggilan nyata agar Republik kembali berpihak pada rakyat.
Karena sejatinya rakyat adalah pemilik Republik ini. Dijelaskan,
pemerintah dan raja sekali pun mereka terpilih sebagai pengelola negara dan
raja yang secara turun temurun menjadi pengageng budaya dan wilayah, sejatinya
tetap harus memberikan pelayanan kepada rakyat sebagai titah dan sumpahnya. Selain
itu juga bukan penolakan terhadap NKRI, melainkan seruan agar janji kemerdekaan
tidak hanya jadi slogan. Prof Henry menambahkan, unggahan itu bukan penolakan
terhadap NKRI, melainkan seruan agar janji kemerdekaan tidak hanya jadi slogan.
Di sisi lain Doktor Ilmu Hukum dari UNS Surakarta ini juga
berpegang pada pandangan Gusti Moeng, Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Solo,
yang menyoroti stabilitas nasionai lantaran unggahan bagian dari keluarga
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Menurutnya, yang disampaikan Gusti
Moeng merupakan komitmen leluhur Keraton yang ikut mendirikan Republik pada
1945 yang juga menjadi pondasi berbangsa. “Kami berharap, para penentu nasib
negeri ini mendengarkan aspirasi Putra Mahkota atas kerugian rakyat itu” pungkasnya.
(Hong)