Penulis : Dr. Ir.
Sapto Priyadi, M.Si
Rentetan banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara,
dan Sumatera Barat kembali membuka luka lama persoalan tata kelola lingkungan
di Indonesia. Material kayu besar, lumpur pekat, hingga aliran air berkecepatan
tinggi menyapu permukiman dan lahan warga, menandai meningkatnya kerentanan
ekologi di hulu kawasan tersebut.
Dr. Ir. Sapto Priyadi, M.P. Dosen Fakultas Pertanian UTP
Surakarta, menilai bencana ini bukan sekadar akibat hujan ekstrem, namun
akumulasi kerusakan ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun. Menurutnya,
cara Indonesia mengeluarkan izin pemanfaatan sumber daya alam (SDA) selama ini terlalu
administratif dan tidak mempertimbangkan keamanan ekologis.
“Alam bekerja melalui hukum fisika, bukan tanda tangan
pejabat. Ketika bukit resapan dibabat, hulu DAS digunduli, dan sungai dipenuhi
sedimentasi, maka banjir bandang hanya soal waktu. Ini bukan tragedi alam,
tetapi tragedi kebijakan.” tegas Sapto.
Sapto menjelaskan bahwa banjir bandang di Sumatera dipicu
oleh pola kerusakan yang sama di berbagai daerah, yakni hilangnya zona resapan
air, alih fungsi hutan primer dan sekunder, hingga lemahnya penegakan aturan
perizinan. Ia menyebut sejumlah faktor utama, yaitu :
Eksploitasi hulu yang mengubah hutan menjadi lahan produksi.
Hilangnya bukit resapan yang selama ini menyimpan air.
Kerusakan penyangga ekologis sungai.
Izin pemanfaatan lahan yang diberikan tanpa kajian neraca
air maupun risiko geologi.
Tidak adanya restorasi pasca-ekspoitasi seperti reklamasi
tambang dan stabilisasi lereng.
Dorongan Reformasi: Izin Berbasis Keamanan SDA
Untuk mencegah bencana berulang, Sapto mengusulkan penerapan
Sistem Izin Berbasis Keamanan Sumber Daya Alam, sebuah pendekatan yang
mewajibkan seluruh izin industri, tambang, hingga pemanfaatan hutan melalui uji
keselamatan ekologi. Tiga elemen utama yang wajib diterapkan, yakni:
1. Uji Neraca Air,
Daya Dukung, dan Zona Risiko Geologi
Sebelum izin diberikan, pemerintah harus menguji:
Keseimbangan air (recharge vs ekstraksi).
Batas toleransi sedimen dan luas minimal zona resapan.
Status kawasan rawan longsor, karst, dan hulu DAS sebagai
zona larangan mutlak.
2. Restorasi Wajib
Restorasi tidak lagi menjadi program sukarela, tetapi syarat
hukum izin.
Termasuk revegetasi hulu, stabilisasi tebing, pemulihan alur
sungai, dan perbaikan lubang bekas tambang. Restorasi bukan program CSR, tetapi
kewajiban hukum sebagai syarat keluarnya izin.
3. Audit Ekologis
Tahunan
Audit harus dilakukan pihak independen dan dipublikasikan
secara terbuka.
Parameter yang diawasi meliputi perubahan debit sungai, muka
air tanah, risiko banjir dan longsor, hingga dampaknya terhadap pertanian dan
pangan. Ketika izin, restorasi, dan audit diikat menjadi sistem tunggal, negara
memiliki kendali penuh untuk mencegah kerusakan sebelum terlambat
rangkaian banjir bandang Sumatera adalah gambaran tentang
kondisi Indonesia jika pemerintah tidak segera memperbaiki tata kelola SDA.
Banjir bukan sekedar air, tetapi membawa pesan tentang : hilangnya hutan,
rusaknya daerah tangkapan, lemahnya penegakan aturan, serakahnomic yang
melampaui akal sehat, hingga rakyat kecil yang harus membayar harga tertinggi.
“Indonesia tidak kekurangan ilmu, ilmu hidrologi, geologi,
dan ekologi sudah jelas. Hanya saja, kekurangan keberanian politik untuk
berpihak pada rakyat dan ligkunga. Saat izin berbasis keamanan SDA ditegakkan,
restorasi wajib, dan audit dilakukan transparan, maka banjir bandang tidak akan
lagi kita anggap sebagai takdir,” tutupnya.***


