Kesenian mampu menghadirkan identitas
secara lebih menarik, mudah diingat, dan punya kedekatan emosional dengan
masyarakatnya.
BOYOLALI, JURNALKREASINDO.com
- Di banyak desa wisata, potensi alam dan kuliner sering menjadi fokus utama
dalam membangun identitas. Namun, ada satu aspek yang kerap terlewatkan padahal
sangat kuat daya ceritanya, yakni kesenian lokal. Kesenian mampu menghadirkan
identitas secara lebih menarik, mudah diingat, dan punya kedekatan emosional
dengan masyarakatnya sendiri.
Karena itu, penguatan branding desa wisata berbasis kesenian
menjadi salah satu pendekatan yang sangat relevan. Hal ini terlihat di Desa
Banyuanyar, Kabupaten Boyolali. Desa ini sejak lama memiliki dua potensi kuat
yang sangat melekat dalam kehidupan warganya : perkebunan kopi dan peternakan
sapi perah. Dua aktivitas ini bukan hanya menjadi sumber mata pencaharian,
tetapi juga membentuk "ritme" keseharian dan budaya kerja masyarakat.
Kesadaran bahwa potensi lokal tersebut dapat diolah menjadi
kekuatan seni yang khas kemudian menjadi titik awal upaya pengembangan branding
desa wisata melalui pendekatan budaya. Kesempatan untuk mengembangkan potensi
itu datang melalui ‘Program Inovasi Seni
Nusantara (PISN) 2025’ yang diinisiasi Direktorat Penitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat (DPPM) melalui Direktorat
Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan
Teknologi* (Kemendiktisaintek).
Melalui program ini, tim dari ISI Solo yang terdiri dari
Prajanata Bagiananda Mulia, M.Sn., sebagai ketua, serta Endang Purwasari, M.A.,
Priaji Iman Prakoso, M.Sn., dan Nandhang Wisnu Pamenang, M.Sn. sebagai anggota
menginisiasi pendampingan untuk merumuskan upaya branding berbasis budaya lokal
di Banyuanyar. Tim ini kemudian menawarkan program bertajuk “Gelar Potensi Seni
Berbasis Budaya Lokal” sebagai langkah konkret untuk menjadikan kesenian
sebagai wajah baru desa wisata.
Dari hasil observasi lapangan dan diskusi bersama warga
serta perangkat desa terkait, tim mendorong dua karya tari yang diambil
langsung dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Tari pertama adalah tari
Bregodo Lembu Banyuanyar, yang terinspirasi dari keseharian para peternak sapi
perah. Gerakan tarinya mengekspresikan ketekunan, kedisiplinan, serta kerja
sama yang selama ini menjadi kekuatan para peternak. Tari kedua adalah tari
Kopi Barendo, yang menggambarkan semangat para pemetik kopi di Banyuanyar.
Gerakannya terinspirasi dari aktivitas panen kopi, mengalir dinamis dan
menggambarkan kebersamaan warga.
Direktorat Penitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat dapat mengolah menjadi
kekuatan seni yang khas.
Kepala Desa Banyuanyar, Komarudin, ST., menyambut baik
inisiatif ini dan melihatnya sebagai peluang untuk memperkuat citra desa
wisata. “Selama ini Banyuanyar baru dikenal sebagai desa susu dan kopi. Tapi
lewat seni, dua potensi itu bisa menjadi cerita lain yang menarik dan mudah
dikenali wisatawan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa warga ikut merasa bangga
karena kesenian yang dikembangkan bukan sesuatu yang dibuat-buat, melainkan
lahir dari realitas hidup mereka sendiri. “Warga merasa terwakili. Mereka
melihat diri mereka tampil di panggung, dan itu membuat mereka lebih terlibat,”
lanjutnya.
Ketua Tim pendampingan, Prajanata Bagiananda Mulia, M.Sn.,
juga menegaskan bahwa branding desa wisata harus berangkat dari kehidupan lokal
yang otentik. “Setiap desa punya potensi unik. Kalau potensi itu diterjemahkan
ke dalam seni, identitasnya akan jauh lebih kuat,” jelasnya. Menurutnya,
pendekatan ini tidak hanya menghasilkan karya seni baru, tetapi juga menguatkan
rasa kepemilikan masyarakat terhadap desa wisata yang sedang dibangun.
Sebagai puncak pendampingan, dua tari tersebut akan
dipentaskan dalam acara *“Banyuanyar Menari”* pada *14 Desember 2025* di Desa
Wisata Kampus Kopi (Kampung Susu dan Kopi), Banyuanyar, Boyolali. Acara ini
tidak hanya menampilkan karya seni tari, tetapi juga menjadi momentum
peluncuran motif batik khas Banyuanyar serta pembukaan spot wisata baru yang
dirancang bersama masyarakat. Melalui acara ini, desa ingin menunjukkan
bagaimana seni, budaya, dan potensi ekonomi lokal dapat berpadu dalam satu
ruang perayaan.
Pengalaman Banyuanyar menunjukkan bahwa pendekatan seperti
ini sangat mungkin diterapkan di desa wisata lain. Selama potensi lokal digali
secara serius dan diwujudkan dalam karya seni yang lahir dari kehidupan
masyarakat, branding desa wisata akan semakin kuat, berkarakter, dan
berkelanjutan. Pendekatan ini bukan sekadar membuat tontonan, tetapi
menghidupkan kembali narasi budaya yang sudah lama menjadi bagian dari
identitas desa. (Her)



