MAKAM SINGOMODO KINI RAMAI DIZIARAHI CALON PEJABAT PUBLIK

 

Tampak para peziarah melangkah menuju Makam Syeh Muhammad Nasher yang berada dipuncak bukit.

SRAGEN (JURNALKREASINDO.COM) - Meski waktu Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dan Presiden secara serentak masih akan berlangsung sekitar 2 tahun mendatang, namun Makam Singomodo yang berada di Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamaan Jenar, Sragen kini sudah mulai ramai dikunjungi peziarah.

Utamanya peziarah yang berniat mencalonkan diri sebagai pejabat publik, seperti Caleg (calon legislatif), lurah, bupati, walikota, gubernur sampai calon presiden. Para peziarah ini datang ke-makam Singomodo, semata-mata untuk melakukan olah spiritual dan prosesi ritual ngalab berkah.

“Belakangan ini sudah banyak para calon pemimpin rakyat yang berkunjung kesini, untuk melakukan ritual khusus agar keinginannya itu tercapai” ujar Slamet Reksodipuro, juru kunci makam Singomodo kepada wartawan sambil menambahkan, meski ada sebagian orang yang merahasiakan dan malu-malu berterus terang tentang jati dirinya.

Menyembelih Kambing

Meski begitu, Slamet sebagai juru kunci yang berpengalaman, tentu bisa menebak siapa saja mereka, melalui gelagat peziarah tersebut. Padahal, peziarah yang enggan berterus terang ini hanya ingin menghidari syarat yang sudah ditentukan di makam ini, yakni bila terkabul harapannya, peziarah disarankan menjalankan syukuran dengan menyembelih kambing.

 

Gapura memasuki makam Singomodo yang belakangan iniramai dikunjungi calon pejabat publik.

“Padahal syarat itu, merupakan sarana spiritual agar nantinya  kalau menjadi pejabat bisa selamat sampai akhir jabatannya, tanpa halangan menghiurkan, menggoda dan rintangan yang berakibat buruk, sehingga tidak menjadikan berhenti ditengah jalan, karena korupsi, narkoba maupun tindakan tercela lainnya” paparnyaDiketahui, makam Singomodo ini sudah lama dikenal sebagai tempat pezirahan, khusus  calon pejabat publik yang merupakan sarana supranatural atas terkabulnya jabatan yang diinginkan, termasuk para calon  kepala dinas, direktur, komisaris dan sebagainya yang intinya calon pimpinan dilahan strategis atau basah.

Keperluan Suci

“Bahkan para pemuda lulusan SLTA (sekolah lanjutan tingkat atas) yang bercita-cita menjadi tentara, polisi, pramugari juga ada yang berziarah disini. Jadi lokasi pezirahan ini bukan untuk niat jahat maupun keserakahan, melainkan untuk keperluan suci dan amanah dikalangan masyarakat atau publik” katanya

Lalu, siapa yang dimakamkan disana ? sehingga sangat dikenal bagi spiritualis dan masyarakat peziarah sebagai tempat ngalab berkah calon pemimpin publik itu ? dikisahkan, pada zaman keemasan Kerajaan Mataram, abad 17, terjadi geger pecinan. Sehingga Amangkurat I beserta prajurit, sentana dan abdidalem-nya kocar-kacir.

Makam Singopmodo dan para peziarah yang sedang ngalap berkah.

Meraka lari tunggang langgang untuk mencari keselamatan diri masing-masing. Dalam situasi itu, abdidalem ulama keratonyang bernama Syeh Muhammad Nasher beserta 5 santrinya juga oncat (meninggalkan) dari keraton, namun menggunakan gethek (perahu kecil yang terbuat dari potongan bambu).

Dihuni Binatang Buas

Untuk menyusuri Bengawan Solo. Ketika gethek tersebut melewati hutan yang masih perawan dan masih banyak dihuni binatang buas, justru Syeh Nasher memerintahkan agar gethek yang mereka tumpangi diberhentikan dan menepi, serta mengajak 5 santrinya, Raden Mustofa, Raden Risail, Raden Sholahuddin, Raden Sholeh dan Raden Munir masuk hutan.

Anehnya, begitu rombongan ini berda dalam hutan, disambut seekor Singa yang bertubuh besar, tentu saja membuat para santri ini ketakuatan. Namun melalui kesucian hati dan jiwa, serta kekuatan olah batin Syeh Nasher mampu berdialoq secara gaid  dengan roh Sang Raja Rimba itu.

Akhirnya, Singa yang semula berwajah garang dan menakutkan itu, justru nampak jinak. Bahkan selalu mengikuti kemanapun rombongan alim ulama tersebut melangkah, seolah memberikan perlindungan, bila suatu ketika ada bahaya yang mengancam mereka. “Hal ini tentu membuat lima santri itu heran” terangnya

Jangan Mencela

Nah, dari peristiwa inilah inilah, muncul nama perdukuhan  Singomodo sampai sekarang. Artinya, singa (singo) itu binatang buas, sebagai raja hutan dan modo (mencela). Jadi, maknanya  sebuah petuah (nasiahat), supaya menjadi manusia itu jangan suka mencela sesama mahklik hidup Ciptaan Tuhan, sekalipun itu binatang.

Langkah para alim ulama itu dilanjutkan memasuki hutan di lereng Gunung Lawu yang dikenal wingit dan angker tersebut, hingga sampai di puncak sebuah bukit mereka baru berhenti. “Syeh Nasher mengajak berhenti 5 santrinya, Setelah berhenti dan istirahat  sejenak, lantas mereka memulai membangun padepokan” katanya

Dalam perkembangannya, mereka melakukan syiar agama Islam bagi penghuni disekitarnya. Bahkan pada hari tertentu, yakni Kamis Pon, pada tengah malam Syeh Nasher melakukan olah spiritual dengan cara sholat malam diteruskan melakukan dzikir setelah mandi dialiran Bengawan Solo.

Berpencar Disemak-semak

Sementara 5 santrinya, juga melakukan hal yang sama, secara berpencar, namun disemak-semak atau gundukkan tanah disekitar bangunan padepokan. “Kejadian aneh kembali terjadi, karena lokasi masing-masing santri itu semedi dan berdzikir,  selanjutnya muncul mata air dan akhirnya menjadi sendang” terangnya

Dari aliran mata air itu membentuk 7 sendang, masing-masing bernama sendhang Pucangan, Ngala, Permata, Keputren, Ngare, Panguripan. Kembali dan sendang tolak mala. Selanjutnya, perdukuhan yang dulunya sebagai tempat singgah dan padepokkan para alim ulama itu dinamakan Dukuh Singomodo.

Nah, ditempat itulah kini dipercaya memiliki tuah dan berkah bagi orang yang berniat mendatkan derajat dan pangkat yang amanah. Benarkah ? “Syeh Nasher dan lima santrinya dalam perkembangannya melakukan syiar Agama Islam dengan jumlah 90 santri hingga meninggal dunia dan dimakamkan di puncak bukit itu juga” pungkasnya. (Her)