Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI.
JAKARTA (JURNALKREASINDO.COM) - Ditemukan
fakta baru, tentang sejarah ‘Kidung Sunda dan Kidung Sundayana’ yang di kenal
dengan munculnya perang bubat, ternyata distorsi sejarah yang diduga dilakukan
penjajah Belanda untuk memecah belah bangsa.
Kedua kidung
tersebut mulai dikenal publik melalui disertasi Prof. Dr. CC. Berg yang ditulis
pada tahun 1927-1928. Namun dalam
disertasinya tersebut, Prof. Dr. CC.
Berg tidak menjelaskan dari mana sumber naskah asli 'Kidung Sunda' dan 'Kidung
sundayana'.
Apalagi dari
50 prasasti Majapahit dan 30 prasasti Sunda Galuh, tidak ada satupun yang menyebutkan
peristiwa perang di Bubat. "Sehingga patut di duga disertasi Prof. Dr. CC.
Berg yang memuat 'Kidung Sunda' dan 'Kidung Sundayana' tersebut memiliki motif
memecah belah dua suku etnis terbesar bangsa Indonesia, Sunda dengan Jawa” ujar
Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI ini
Hal tersebut
mengingat di tahun 1928 terjadi peristiwa Sumpah Pemuda, intelijen Belanda bisa
jadi waktu itu sudah mencium akan munculnya peristiwa Sumpah Pemuda dari
jauh-jauh hari. "Sehingga patut diduga disertasi Prof. Dr. CC. Berg yang
memuat 'Kidung Sunda' dan 'Kidung Sundayana' tersebut memiliki motif memecah
belah dua suku etnis terbesar bangsa Indonesia, Sunda dengan Jawa” paparnya
Devide Et Impera.
Peristiwa
itu sebagai bagian dari devide et impera (politik pecah belah), lanjut Bamsoet
(panggilan akrabnya) dalam Webinar Series Ksatriavinaya di Bubat (Kewajiban
Ksatria di Bubat), yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta bekerjasama dengan Rumah Studi Jawa Makaradhwaja Yogyakarta, secara
virtual dari Jakarta, Kamis (26/8/2021).
Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur
DIY.
Hadir dalam
acara tersebut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono
X, Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Dian Lakshmi Pratiwi,
Guru Besar Universitas Muhammdiyah Yogyakarta Theria Wasim, Filolog Jawa Kuna
dan Sansekerta Universitas Gajah Mada Manu J Widyaseputra serta seniman Rangga
Jalu Pamungkas.
Bamsoet menekankan, pentingnya rekonsiliasi kultural
dalam merekatkan relasi Sunda-Jawa sekaligus memutus sejarah kelam yang
diakibatkan peristiwa perang di Bubat. Terlebih dari 50 prasasti Majapahit dan
30 prasasti Sunda Galuh, tidak ada satupun yang menyebutkan peristiwa perang di
Bubat. Dengan demikian sangat penting bagi seluruh generasi bangsa bersikap
kritis dalam memaknai setiap teks sejarah.
Perlu Kepastian.
Sehingga
tidak terkunci oleh sejarah masa lalu yang belum terbukti kebenarannya.
Terlebih yang sarat dengan nuansa memecah belah dan tanpa sumber yang jelas
kepastiannya, seperti terjadi dalam
'Kidung Sunda' dan 'Kidung Sundayana'.
Kendati kedua kidung tersebut memang bisa
dipastikan keasliannya, serta peristiwa di Bubat memang benar terjadi, generasi
masa kini tidak perlu terpengaruh. Peristiwa masa lampau cukup dijadikan
pelajaran untuk mengambil hikmah merajut persatuan di masa kini dan mendatang.
"Melalui
webinar ini, kita telah membangun literasi kebudayaan. Khususnya dalam mengkaji
dan menelusuri kembali peristiwa Bubat, demi menemukan 'kebenaran' dalam
kerangka merajut semangat persatuan dan kesatuan bangsa, serta mereduksi
perasaan saling membenci antar sesama anak bangsa” lanjut Bamsoet
Hal ini disebabkan kurangnya kedalaman dan
ketajaman analisa dalam membaca, memahami, serta memaknai berbagai rujukan dan
fakta sejarah. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, membaca,
menyimak dan memaknai fakta sejarah adalah proses yang berkesinambungan, tidak
bersifat statis dan berhenti di satu terminal pemaknaan.
Selaras
dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dinamis, akan selalu ada
hal-hal baru yang menawarkan penyempurnaan dalam mengkaji sumber rujukan dan fakta
sejarah. "Pengumpulan kembali fakta sejarah tidak hanya selaras dengan
semangat agar kita tidak pernah melupakan sejarah” paparnya
Lebih dari itu, menghimpun kembali fakta
sejarah adalah penting untuk meluruskan sejarah dan menempatkan sejarah pada
proporsi yang sebenarnya. Tidak kalah penting adalah mengambil pelajaran dan
hikmah dari peristiwa sejarah untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sebagaimana
disampaikan Raja Keraton Yogyakarta, sekaligus Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, 'Kidung Sunda' dan 'Kidung Sundayana'
diperkirakan ditulis pada abad ke-16. Dimana didalamnya menceritakan peristiwa
perang di Bubat pada abad ke-14. Jarak penulisan dengan peristiwanya terpaut
dua ratus tahun, sehingga patut diduga terdapat distorsi dan deviasi fakta
sejarah. (Her)