DOKTOR TAK MELAKUKAN RISET, TANDA KEMATIAN INTELEKTUAL


Suryono, ketika memaparkan tema, ‘Nilai-Nilai Toleransi di Pondok Pesantren Isilam Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo’ ketika ujian doktor.

 SUKOHARJO (JURNALKREASINDO.COM) - Doktor diidentikan dengan riset, manakala tidak melakukan riset dan terhanyut dengan keberasaran gelarnya itu merupakan tanda kematian, bagi seorang intelektual dalam memberikan kontribusi bagi masyarakat. Ungkapan itu diutarakan, Prof. Dr. Sutama., M.Pd salah satu penguji ujian terbuka, program doktor.

Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Program Doktor (S3) Pendidikan Agama Islam meluluskan dua Doktor baru, dalam sidang terbuka di Gedung Pascasarjana Kampus 2 UMS, Kamis (21/10/2021).

 Promovendus, Suryono alias (Muhammad Nor Islam) dengan Promotor prof. Dr. Sutama., M.Pd dan Ko Promotor Prof. Dr. Musa Asy'arie yang memaparkan tema, ''Nilai-Nilai Toleransi di Pondok Pesantren Isilam Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo" mendapat respon yang cukup baik dari para pengujinya.

 ''Desertasi ini memberikan perspektif lain, tentang toleransi di Pondok Ngruki,'' papar Prof Waston, salah satu penguji. Begitu pula penguji lainnya, Prof Musa Asy'arie yang juga memberikan penilaian positif tentang karya ilmiah Suryono. Menurutnya stigma negatif tentang Ngruki, harus dihilangkan.

Adapun, Promovendus Zaenal Abidin yang di Promotori oleh Prof. Dr. Musa Asy'arie tidak harus berjibaku dengan para pengujinya. Dia lolos, karena karya ilmiahnya sudah terbit di jurnal Scopus. Sebagaimana aturan di UMS, jika jurnal calon Doktor mampu tebus Scopus minimal Q 3.

Memenuhi Syarat

Maka dianggap telah memenuhi syarat tanpa diuji terbuka. ''Selamat bagi Doktor Zaenal, jurnalnya tembus di Scopus. Dia tidak perlu ujian terbuka,'' tegas Rektor UMS, Prof Sofyan Anif, kemarin.  Sementara itu, Prof. Dr. Sutama., M.Pd yang menjadi Promotor Suyono, menyapaikan bahwa gelar Doktor memiliki tanggungjawab yang berat.

Karena  Doktor diidentikan dengan riset, manakala tidak melakukan riset dan terhanyut dengan keberasaran gelarnya itu merupakan tanda kematian, bagi seorang intelektual dalam memberikan kontribusi bagi masyarakat.

"Gelar Doktor yang Saudara sandang memiliki tanggungjawab yang tidak ringan, karena gelar Doktor dapat diidentikan dengan riset. Ketika seorang Doktor tiba-tiba tutup buku, hanyut dengan kebesaran gelarnya” papar Sutama

Ditambahkan, sehingga lupa sebagai seorang periset, maka sebuah pertanda “kematian” bagi seorang intelektual dalam memberikan kontribusi pengembangan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia.

Ponpes Toleran

Dalam kesimpulannya, Suyono menjelaskan hasil penelitiannya yang berlatar belakang toleransi Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki menepis anggapan yang selama ini berkembang di tengah masyarakat. Menurutnya, Ngruki merupakan ponpes yang sangat toleran.

Tercermin dari kurikulum dan implementasi dari kehidupan warga pondok dengan masyarakat sekitarnya yang harmonis. ''Ponpes Ngruki, ada di tengah pemukiman padat penduduk. Mereka hidup berdampingan, sejauh ini aman aman saja,'' jelas Suyono.

Kaprodi Doktor Pendidikan Agama Islam (S3), Waston menyampaikan, pada Ujian Terbuka kali ini meluluskan 2 Doktor (Suryono dan Zaenal Abidin) yang ke 6 dan 7 bagi Porgram Doktor Pendididkan Agama Islam, serta berharap dengan diluluskan alumni memiliki berkontribsui kedamian kesejahteraan di masyarakat. (Eps)