Ketika sebagian para dalang yang percaya mitos ini sepi tanggapan, biasa berupaya dengan sarana melaukan ritual peziarahan di makam keramat.
SUKOHARJO
(JURNALKREASINDO.COM) – Di Dukuh Tengklik, Desa Watu Bonang, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo ada
sebuah makam keramat yang dikenal dengan sebutan Makam Kyai Banjaransari.
Bilia tiba malam Selasa Legi maupun Jumat Kliwon, makam ini banyak
dikunjungi peziarah, bahkan sudah sejak sore hari sudah banyak orang berkumpul
disana mempersiapkan diri untuk menjalani ritual tirakat pada malam harinya.
Menurut warga setempat, mereka yang datang itu kebanyakan para
dalang yang kondisinya sedang lesu tanggapan. Namun juga ada sebagian orang
yang hadir untuk menggelar syukuran, karena hajatnya berhasil, setelah
menjalani tirakat disana.
Para dalang ini lantas menjalankan ritual peziarahan di
makam Kyai Banjaransari. Mereka percaya atas mitos yang berkembang dari mulut
kemulut itu dan terjadi secara turun temurun sejak ratusan itu.
Situasi Berubah
Para dalang ini meyakini, setelahn menjalankan ritual tirakatan
tertentu, situasi yang dialaminya belakangan ini bakal berubah. Diman
tanggapan mendalang akan datang silih
berganti alias laris manis.
Para peziarah menunggu datangnya malam tirakatan di pendapa makam.
Menurut Wardi Suyatno, juru kunci makam Kyai Ageng Banjaransari itu mengatakan, sejak saat itulah banyak dikunjungi beberapa dalang asal Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ling pasering datang disini, diantara pra dalang di daerah lain.
Selain membudayakan ziarah di makam leluhur, mereka juga
melakukan ritual untuk menggapai firasat positif melalui aura gaib makam ini. Harapan
yang diinginkan tidak lain agar profesinya sebagai dalang bisa langgeng dan
selalu ajeg menerimajob atau order.
Berhasil Bertransaksi
Tentu saja maksudnya, berhasil mendapatkan transaksi
pementasan wayang purwa yang ditekuninya selama ini. Dengan begitu rejeki para
dalang beserta kru-nya otomatis juga ikut lancar dan mensejahterakan.
Jika harapan itu benar-benar terwujud, sebagai ungkapan rasa
syukur para dalang ini biasanya menggelar pentas wayang purwa di dekat lokasi
makam. Sedangkan sesaji yang dipersebahkan saat menggelar syukuran beraneka
ragam.
Diantaranya berupa jajanan pasar dengan menu utama buah pisang
setangkep (satu sisir) serta Ayam Ingkung. Sesaji itu digelar di depan makam.
Setelah melakukan umbul donga (ritual pemanjatan doa) sesaji itu sebagai santapan
bersama.
Sakit Perut
Semua prosesi ritual itu,
dilakukan beberapa menit sebelum pentas wayang purwa dimulai. Ada yang unik, ketika acara menyantap sesaji, bagi
siapa saja yang hadir dan ditawari salah satu jenis makanan yang ada dalam
sesaji, maka wajib menerima dan memakannya.
Makam Ki Ageng Banjaransari, dipercaya
sebagian masyarakat bertuah dan membawah berkah.
jika bersedia menerima dan menyantapnya, maka akan
mendapatkan kesejahteraan di waktu-waktu mendatang. “Sebaliknya jika menolak,
mereka bakal sakit perut sepulang nonton wayang” imbuh Wardi dibenarkan
sejumlah penonton wayang dimalam itu
Mitos tersebut sangat dipercaya sebagian besar yang hadir.
Jadi bagi siapa saja yang sejak awal tidak ingin mencicipi atau tidak mau makan
bagian dari menu sesaji tersebut, biasanya akan memilih untuk menjauh atau
sedikit menyingkir dari arena syukuran.
Penguasa Terakhir
Hal ini untuk
menghindari, agar tidak ditawari menu makanan dalam sesaji oleh pemimpin doa
atau panitia syukuran. Dikisahkan, Ki Ageng Banjaransari itu, salah satu
keturunan dari Prabu Brawijaya V, penguasa terakhir Kerajaan Majapahit.
Beliau berkelana hingga ke daerah selatan, sampai terperosok
di Wilayah Tawangsari, Sukoharjo ini. Mengapa ? karena desakan atas pengaruh
beda keyakinan dengan keluarga besar Kerajaan Demak, membuat Sang Kyai memilih
menyingkir.
Perjalanan kelananya hingga sampai di Dusun Tenglik, Desa
Watu Bonang, Sukoharjo, Jawa Tengah untuk mengajarkan ilmu spiritual kejawen,
hingga sampai akhir hayatnya dan oleh para muridnya Kyai Banjaransari dimakamkan
disini. (Her)