Masjid Tegalsari Penuh Kenangan dan Menjadi Kebanggaan Masyarakat Surakarta

H. Muhammad Al Amin, ketika memberikan keterangan kepada wartawan.

SOLO, JURNALKREASINDO.comMasjid Tegalsari sebagai masjid swasta tertua di Solo, penuh kenangan dan menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Surakarta. Pernyataan tersebut diungkapkan H. Muhammad Al Amin, ketua bidang Kemasjidan, Masjid Tegalsari kepada wartawan, Kamis (13/3/2025), seusai berbuka puasa di Masjid setempat.

Al Amin yang juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta menyampaikan, Ia merasa mendapat kemudahan dari Allah SWT untuk terus bisa berbuat yang bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan selama menjadi anggota dewan, Amin terus aktif dalam kegiatan kemasjidan di Kampungnya Tegalsari, Kecamatan Laweyan, Surakarta.

“Masjid Tegalsari ini merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Kota Surakarta, karena masjid ini termasuk masjid kuno, masjid milik swasta tertua atau yang pertama di Surakarta. Disebut masjid swasta, karena tidak dibangun oleh pemerintah Belanda, maupun pemeritahan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat maupun Pura Mangkunegaran” ungkapnya, 

Ibu-ibu muda lingkungan Masjid Tegalsari saat melaksanakan sema’an di masjid setempat.

Masjid ini berdiri pada tahun 1928, bersamaan dengan Sumpah Pemuda, dimana ketika itu pemancangan 4 sakaguru dan ini merupakan masjid swadaya, wakaf dari H. Sapawi dan dibangun oleh para pengusaha batik Laweyan. “Agenda ramadan tahun ini, kegiatannya banyak sekali dan sebagai terobosan, adalah berbuka bersama dengan madhang gedhen, setiap hari Kamis dalam bulan Puasa Ramadan kali ini” katanya

Semua itu swadaya dari panitia, pengurus masjid dan sumbangan amanah dari masyarakat, tanpa meminta. Seperti halnya dalam membangun Masjid Tegarsari ini juga tanpa meminta-minta sumbangan, tetapi sudah ada yang menyiapkan dananya. “Kami menghindari minta-minta bantuan, Insya’allah Masjid Tegalsari sudah cukup mampu dalam melaksanakan kegiatan dakwahnya” tegasnya

Dalam bulan Puasa Ramadan sekarang ini, pihaknya setiap hari Kamis melakukan sema’an, hafalan satu juz. Dimana Kamis ini kelanjutan dari Kamis yang lalu Juz 14. “Setiap hari sebenarnya juga diadakan buka bersama, secara reguler nasi bungkus sejumlah kurang lebih 250 nasi bungkus., tetapi kalau hari Kamis madhang gedhen (piringan) disediakan 400 porsi” papar Amin lagi

Prasati pendiri dan berdirinya Masjid Tegalsari, ditulis dengan Huruf Jawa.

Masjid Tegalsari ini memiliki nilai historis yang cukup tinggi, ketika Amin masih kecil, sekitar tahun 1970-an, masyarakat Solo berbondong-bondong ingin menyaksikan saat Mahgrib tiba dengan ditandai yang tidak hanya sekedar adzan, tetapi dengan menyalakan semacam bom yang disebut ‘Dhul’. Dimana ‘Dhul’ ini hanya dinyalakan sebagai tanda berbuka puasa oleh Masjid Agung (sebelah timur) dan Masjid Tegalsari (sebelah barat).

Dan dari pemerintah Kota Surakarta, ditandai dengan sirine yang dibunyikan di Taman Sriwedari, namun sejak tahun 1985 ada kebijakan dari pemerintah pusat, mengenai Undang-undang Azas Tunggal, yaitu Pancasila. “Nah, pada saat itu ada pengetatan penggunaan bahan peledak, sehingga secara berangsur-angsur menhilang dan sudah tidak ada lagi, hanya tinggal kenangan” pungkasnya. (Hong)