Waskito (tengah), Mr. Jepank Van
Sambeng (kiri) dan Dadang sebagai moderator ketika melaksanakan sosialisasi
Tata Kelola Royalti.
SOLO, JURNALKREASINDO.com – Untuk mendapatkan titik temu yang pas, maka para pelaku seni musik bersama dengan para pengusaha Hotel, Restaurant, Cafe, Tempat Wisata, Karaoke, dan pelaku kuliner dan wisata lainnya, menggelar sosialisasi tentang Hak Cipta (Royalti Musik) dengan menggandeng Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Kegiatan ini diinisiasi oleh Mr. Jepank Van Sambeng, Pelaksana Harian LMKN Jawa Tengah dan DIY.
Kegiatan tersebut dilaksanakan, pada Jumat (8/82025) bertempat
di Gedung Djoeang 45 Solo. Semua masalah akan dibedah bersama dan dijelaskan
detail bagaimana cara perhitungan royalti yang sebenarnya. “Kami menginisiasi
acara ini, karena saya ini pelaku seni asli Solo dan berjuang dari nol, mulai
dari ngamen dari rumah ke rumah, dari cafe ke cafe dan dari resto ke resto,
sejak tahun 1996. Jadi saya merasakan teman-teman seniman” ujar Mr. Jepank
Nah, dari cerita yang simpangsiur dan kurang jelas di
sosmed, maka Mr Jepank mengadakan sosialisasi itu, agar bisa ketemu titik
temunya. Sehingga para kreatornya bersemangat, pencipta lagunya masa depanya
jelas, pengusaha nyaman dan tenang dalam menjalankan usahanya. “Selain itu kami
bisa membangun iklim musik yang berkenjutan tersohor. Dengan diadakannya
sosialisasi ini, kami harapkan semua keluh kesah bisa mendaptkan solusinya”
tuturnya
Mr. Jepank Van Sambeng, ketika
memberikan keterangan kepada wartawan.
Sementara itu, salah satu narasumber, Komisioner Bidang
Keuangan dan Distribusi LMKN, Waskito mengatakan, saat ini belum ada data pasti
jumlah pelaku usaha dari Sabang sampai Merauke yang menggunakan musik sebagai
bagian dari proses bisnisnya. Namun, persentase pelaku usaha yang sudah
melaksanakan kewajiban membayar royalti musik hanya sekitar 2 persen. “Jadi
masih minim, belum ada 5 persen” kata Waskito
Sehingga bisa dibayangkan dari 13 sektor bisnis yang wajib
membayar royalti dari Sabang sampai Merauke jumlahnya masih sangat banyak. Jika
mereka menggunakan lagu atau musik, tapi yang membayar itu totalnya belum sampai
6.000 pengguna. Dengan masih minimnya
pelaku usaha pengguna lagu atau musik yang belum membayar royalti itu,
disebabkan masih rendahnya kesadaran mereka akan pentingnya karya cipta.
Hal ini terjadi dipicu masih minimnya sosialisasi tentang
tata kelola royalti kepada masyarakat, lantaran terbatasnya biaya. Padahal tata
kelola royalti di Indonesia tersebut sebenarnya sudah diatur sejak lama.
"Dimulai sejak diterbitkannya UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta,
kemudian direvisi dengan UU Nomor 19 Tahun 2002 dan terakhir dengan UU Nomor 28
Tahun 2014," tuturnya
Para peserta yang terdiri dari pengusaha
Hotel, Restaurant, Cafe, Tempat Wisata, Karaoke, dan pelaku kuliner dan wisata
lainnya
Bahkan tetang masih minimnya jumlah pelaku usaha pengguna
musik membayar royalti itu juga dipicu oleh panjangnya proses penegakan hukum
untuk setiap laporan pelanggaran hak cipta.
Rendahnya tingkat kesadaran pelaku usaha pengguna lagu atau musik ini
karena selama ini mereka tidak dibebani kewajiban itu. Selama puluhan tahun
mereka merasa menggunakan musik itu dengan leluasa dan bebas, kemudian
tiba-tiba dibebani kewajiban membayar royalti ini.
Sehubungan dengan penegakan hukum Waskito mengatakan,
menepis prosesnya bisa sangat panjang serta membutuhkan waktu, tenaga, dan
biaya yang seringkali tidak sepadan dengan nilai royalti yang sebenarnya harus
dibayar.
“Sehingga menurutnya
dalam penegakan hukum ini, semestinya dapat dilakukan dengan peradilan cepat. Dengan
demikian akan efektif, tetapi kalau masih denganproses hukum dengan cara seperti
sekarang ini memang akan memakan waktu yang sangat lama," tegas waskito
sembari menambahkan, dengan demikian LMKN bersama pemerintah akan terus
menggencarkan sosialisasi seperti ini, serta mengupayakan agar tingkat kesadaran
masyarakat, khususnya pelaku usaha, bisa bertumbuh untuk mau lebih menghargai
karya cipta, karena itu menjadi bagian daripada proses bisnis mereka. (Hong )