KPH. Dr. Eddy Wirabumi : Kirab Malem Selikuran, Eksensinya dari Karaton Menuju Masjid Agung

 

KPH. Dr. Eddy Wirabumi, SH.MM, ketika memberikan keterangan kepada sejumlah wartawan.

SOLO, JURNALKREASINDO.comTradisi malem selikuran, yakni malam menjelang 21 hari umat Islam menjalankan kewajiban ibadah puasa Ramadan, selalu digelar Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Untuk tahun 2025 ini kraton menggelar acara ritual tersebut, pada Kamis (20/3/2025) malam. Adat budaya ini sebagai bentuk syukur sekaligus peringatan memasuki malam ke-21 Ramadan yang diyakini sebagai malam Lailatul Qadar. Acara yang dihadiri ribuan masyarakat ini menampilkan iring-iringan kirab tumpeng sewu (seribu tumpeng) dan arak-arakan ting (lentera), menggambarkan harmoni antara ritual keagamaan dan budaya Jawa.

Pada kesempatan itu, direktur eksklusif LBH Karaton Surakarta, KPH. Dr. Eddy Wirabumi, SH.MM kepada sejumlah wartawan menyampaikan, sejarahnya untuk menyambut malam seribu bintang ini, eksensinya kirab dilakukan dari karaton ke Masjid Agung. Baru, setelah zaman keemasan Paku Buwana (PB) X membangun taman Baleraja, Sriwedari. “Kemudian kegiatan ini juga dilakukan di Baleraja, Sriwedari untuk menambah daya tarik, karena dulu di Sriwedari itu selama bulan puasa Ramadan juga diadakan perayaan maleman, namun untuk tahun ini kirab diadakan di dua tempat. Satu sisi dari karaton ke masjid, sisi yang lain dari Pagelaran menuju Sriwedari” ungkap Kanjeng Eddy

Kirab malem selikuran, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan wisatawan. 

Jadi, lanjutnya, kedua-duanya tidak ada yang salah, semuanya dapat dinikmati, namun yang tidak boleh ditinggalkan itu, kirab dari karaton ke masjid, karena masjid itu menjadi sentral adat dan budaya. Ini sudah menjadi ‘kesepakatan’ yang tidak tertulis yang juga bermakna saling melengkapi. Untuk kali ini dari LDA (lembaga dewan adat) yang disiapkan GKR Wandansari, selaku pengageng Sasana Wilapa membuat 2 ribu paket tumpeng. Kanjeng Eddy juga mengatakan, kalau didalam karaton itu ada 30 tempat ibadah berupa masjid, mushola maupun Ssra. “Malam ini peserta kirab diikuti sekitar seribu orang yang terdiri dari berbagai daerah” tutur Kanjeng Eddy sembari menambahkan, tumpeng itu dibagikan kepada masyarakat Baluwarti, peserta kirab  dan siapa saja yang hadir.

Tradisi ini menjadi pengingat untuk memperbanyak ibadah di malam ganjil Ramadan. Tumpeng sewu merepresentasikan seribu kebaikan malam Lailatul Qadar, sementara ting terinspirasi dari obor yang dibawa sahabat Nabi Muhammad saat menjemputnya di Jabal Nur. Ini adalah bentuk visualisasi nilai spiritual dalam budaya Jawa. Antusiasme masyarakat terlihat dari ribuan peserta yang memadati lokasi.  Ritual yang diikuti abdi dalem, sentono dalem (keluarga keraton), dan masyarakat umum ini tidak hanya menjadi atraksi budaya, tetapi juga media edukasi tentang makna Ramadan.  (Hong)